UPACARA ADAT SUKU BOTI MELINDUNGI IBU HAMIL DAN MERAMAL JENIS KELAMIN BAYI.
Berbicara mengenai upacara daur hidup, maka banyak daerah yang dapat
dijadikan referensi karena populernya upacara tersebut. Misalnya upacara
pernikahan adat jawa, sunda, betawi, dan lain-lain. Pulau Timor atau
dataran Timor (NTT) sebenarnya memiliki upacara daur kehiduapan seperti
masyarakat adat lainnya. Misalnya pada masyarakat Dawan atau Atoni atau
Boti.
Dalam perkembangnannya, masuknya agama Kristen turut memengaruhi tata
cara upacara terutama untuk suku Boti yang tinggal di daerah pesisir
atau yang disebut Boti luar. Hal ini diterangkan dalam buku Laporan
Hasil Kajian Upacara Siklus Kehidupan Masyarakat Suku Boti- Kabupaten
TTS yang diterbitkan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Arkeologi,
Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional-Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P
dan K) Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menyebutkan, tidak semua
warga Suku Boti melaksanakan berbagai upacara tersebut, hanya sebagian
kecil saja yang masih melaksanakan upacara peninggalan leluhur tersebut.
Suku yang masih melaksanakan upacara siklus kehidupan sebagian kecil
adalah masyarakat Boti Dalam.
Suku Boti percaya bahwa di setiap tempat di alam terbuka seperti
pohon besar, gunung atau batu besar, sungai dan kampung ada penjaga atau
penunggu. Oleh sebab itu, terdapat upacara yang dilakukan suku Boti
untuk melindungi sang ibu yang tengah hamil dan meramal jenis kelamin si
jabang bayi. Ta Pe Fenu sebutan bagi upacara tersebut.
Saat kandungan sang ibu telah mencapai tujuh bulan ritual ini baru
akan dilakukan. Hadir dalam upacara ini hanya orang tua kandung dari
pasangan suami istri beserta bayi yang disebut A mama fenu atau secara harafiah berarti pengunya kemiri namun secara gramatikal sebenarnya merujuk kepada sang dukun bayi.
Pada upacara ini pertama-tama A mama fenu melakukan
pembakaran buah kemiri kira-kira setengah matang. Kemudian kemiri
tersebut dibungkus dengan sepotong kain. Selanjutnya kemiri tersebut
dipecahkan. Bila daging buah kemiri tetap utuh, maka sang ibu sedang
mengandung anak laki- laki sebaliknya, bila daging kemiri terbelah maka
anak yang sedang dikandung itu berjenis kelamin perempuan.
Setelah itu, A mama femu mengunyah danging kemiri tersebut
dan menggosokkannya ke perut sang ibu sambil membaca doa, memohon agar
melindungi sang ibu dari gangguan makluk gaib serta memohon agar sang
ibu bisa melahirkan dengan selamat.
Selain meramal dan membaca doa, A mama femu juga bertugas membantu sang ibu dalam proses perkawinan. Selain A mama femu, ibu kandung orang yang melahirkan pun turut mendampingin.
Hal unik dari proses persalinan ini adalah ketika plasenta dan
ari-ari diputus dari pusar bayi. Tali ari-ari atau yang biasa disebut Li an Olif
(adik dari bayi) digantung di pohon kapas. Hal ini melambangkan harapan
agar sang bayi dewasa nanti, bisa menjadi penyulam benang yang terampil
dan penenun yang mahir. Sedangkan plasenta anak laki-laki digantung di
atas pohon enau atau lontar dengan harapan agar saat dewasa nanti pandai
menyadap nira.
Ada juga yang meggantung plasenta di pohon kusambi atau pohon
beringin yang disebut oleh masyarakat Usaip Usuf atau Nun Usaf. Ini
dengan maksud agar bayi tersebut nantinya menjadi pemberani (kusambi)
dan menjadi pelindung atau pengayom (beringin). Pohon jenis ini juga
jarang di tebang oleh masyarakat yang mempercayai hal tersebut.
Masyarakat Boti percaya ada hubungan emosional antara bayi dan
plasentanya, sehingga plasenta tersebut harus diperlakukan sebaik
mungkin.
Setelah proses persalinan selesai, bayi kemudian akan ditangani oleh A mama femu. Mereka tinggal di rumah bulat atau yang disebut dengan ume khubu selama
empat hari dan empat malam. Selama empat hari dan empat malam, ibu dan
bayi berada di atas tempat tidur dengan bara api di bawanya. Bara api
tersebut akan memberi kehangatan dan kekuatan, juga memulihkan tenaga
setelah proses persalinan. Ada kepercayaan juga bahwa bara api tersebut
untuk memberi semangat hidup untuk si bayi.
Ada banyak lagi upacara yang berhubungan dengan daur hidup. Misalnya upacara pengenalan anak dengan dunia luar (Napoitan Liana)
yang dimaksudkan untuk memperkenalkan anak pada masyarakat sekaligus
mengumumkan bahwa masa krisis yang dijalani oleh bayi dan ibu telah
berlalu. Selain itu terdapat pula upacara Upacara pemberian nama (nakanab), Upacara mencukur rambut (Eu Nakfunu), Perkawinan (Mafet Mamamonet), Peminangan (Toif Bife), Ikatan Perkawinan (Maftus Neo Mafet Mamonet), Hidup Berumah Tangga (Monit Mafet Ma Monet), dan Bakti Kepada Orangtua (Maka Upa Ncu Mnasi).
Post a Comment