BERCOCOK TANAM DAN PENGELOLAAN TANAH ORANG MINAHASA
Dari
sekian ragam mata pencaharian yang dijalani orang Minahasa sebagai
sumber penghidupan, sektor pertanian merupakan yang paling memiliki
sejarah panjang dan masih bertahan hingga hari ini. Dalam tradisi
berocok tanam orang Minahasa, dikenal dua konsep pengolahan tanah
pertanian, yakni menetap dan berpindah tempat. Konsep yang terakhir pada
umumnya berlaku untuk pertanian ladang yang terletak di lereng-lerang
perbukitan, yang kandungan zat hara tanahnya mudah terkikis.
Dalam bercocok tanam, orang Minahasa
mengenal tiga jenis status tanah garapan. Pertama adalah tanah
perorangan atau disebut tanah pasini, yang umunya didapat pemiliknya
dalam bentuk warisan atau hasil pembelian. Terkadang, persengketaan
terjadi di antara para pemilik tanah-tanah pribadi. Jika bukan karena
huru-hara warisan, masalah lainnya adalah menyangkut sengketa batas
tanah dalam satu lingkungan. Batas-batas tanah pasini sendiri biasanya
ditandai dengan sejenis tanaman yang disebut tawaang.
Kedua adalah tanah komunal, yakni lahan
pertanian yang penggunaannya diatur oleh tetua adat yang disebut
Hukumtua, yang dalam perkembangannya diasosiasikan dengan kepala desa.
Dan ketiga adalah tanah kalakeran, yakni tanah milik bersama dari suatu
kelompok kerabat atau keluarga luas. Tanah tersebut dikelola secara
bersama-sama oleh para anggota keluarga, dan jika luas tanah tidak
mencukupi untuk seluruh anggota keluarga, maka pengelolaannya dilakukan
secara bergiliran. Tanah yang menjadi objek pengelolaan bergiliran dalam
suatu keluarga luas disebut tanah pataunen, yang berarti setiap anggota
keluarga mengelola bergantian dalam rentang waktu satu tahun.
Dalam konsep pertanian orang Minahasa,
keluarga inti merupakan sandaran utama dalam pengelolaan lahan
pertanian. Para anggota keluarga umumnya bahu-membahu dalam menyukseskan
usaha pertanian mereka. Akan tetapi jika tanah garapan terlalu luas
untuk dikerjakan hanya oleh keluarga inti, maka pilihan lainnya adalah
dengan mencari tenaga bantuan dari kerabat (keluarga luas). Kerjasama
yang dijalin dalam pengelolaan bersama ini disebut sumawang.
Selain mengandalkan kerabat, pemilik
tanah bisa juga meminta bantuan orang lain di luar keluarga, baik dengan
sistem bayaran maupun bagi hasil yang dikenal dengan istilah tumoyo.
Kemudian, orang Minahasa juga mengenal konsep saling berbalas bantuan
atau ‘arisan tenaga’ dalam mengelola lahan pertanian mereka. Konsep
tersebut disebut sebagai mapalus.
Sejumlah peralatan tradisional yang
biasa mereka gunakan, di antaranya adalah pajeko (bajak), alat pengolah
tanah yang ditarik oleh hewan ternak, yang umumnya sapi, kerbau, dan
kuda. Alat-alat lainnya adalah pacol (cangkul), tembilang (sekop), dan
masih banyak lagi.
Post a Comment