Desa Unik di Ngawi Jawa Timur ini Hampir Semua Penduduknya Wanita
Keberadaan kampung wadon (wanita) di hutan jati Kecamatan Pitu,
Kabupaten Ngawi, Jatim, terancam punah karena jumlah penduduknya terus
berkurang.
Kampung wadon, diketahui kalangan masyarakat yang ada di sekitar hutan jati adalah perkampungan unik. Pasalnya hampir seluruh penduduknya berjenis kelamin wanita.
Hal itu dikarenakan banyak penduduk laki-laki kebanyakan memilih hengkang dari kampung wadon, sebab mereka meyakini, jika masih tetap tinggal di kampung tersebut hidupnya akan sial atau sengsara.
Meski tidak banyak penduduk laki-laki yang tinggal di desa tersebut, para wanita yang tinggal di kampung itu tetap hidup aman, tentram, dan damai.
Salah seorang warga yang tinggal di kampung wadon, Kasinem, 86 tahun, Senin, di Ngawi, mengatakan, hingga saat ini dirinya beserta bersama dengan dua anaknya, Gani, 50 tahun, dan Sukiyem, 35 tahun yang kini kondisinya sudah lumpuh, masih bertahan hidup dengan tradisi tersebut.
"Pesan dari leluhur kami, saya harus menjaga tradisi yang ada di kampung ini," katanya saat ditemui di kediamanya.
Menurut Kasinem, dia termasuk yang menjadi panutan banyak orang karena paling tua di kampungwadon diantara tetanga lainya yang kebanyakan usianya rata-rata 50 tahun.
Namun yang menjadi keunikan tersendiri hingga saat ini, kata dia, jika ada orang yang berkunjung ke kampung wadon pasti tidak akan menemukan laki-laki. Pasalnya kebanyakan laki-laki sudah pergi dan menetap di desa lain.
"Warga mempunyai kepercayaan, jika ada orang laki-laki setelah menikah tidak segera pergi, maka ia akan sengsara sepanjang hidupnya," kata Gani anak dari Kasinem yang juga merupakan penghuni kampung wadon.
Mitos inilah yang menjadikan warga khususnya yang berjenis laki-laki akhirnya memilih segera pergi dari kampung tersebut, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Gani sendiri mengaku kebanyakan laki-laki setelah menikah dengan wanita di kampung tersebut, langsung meninggalkan desa tersebut.
"Mereka semua takut, jika tetap bertahan akan terkena musibah," ujarnya.
Keberadaan kampung yang dihuni kaum hawa ini, sebenarnya sudah lama diketahui warga dari luar desa. Namun karena lokasinya berada di tengah hutan, tidak banyak orang yang mengunjunginya.
Sementara itu, petugas penjaga hutan setempat, Langgeng, 53 tahun, mengatakan bahwa warga desa yang ada di sekitar hutan sudah banyak yang mengetahui keberadaan kampung unik ini.
"Mereka juga paham betul, kepercayaan warga di kampung itu yang anti-dengan keberadaan laki-laki," katanya.
Menurut dia, mitos yang berkembang di desa tersebut hingga kini masih dipercaya secara turun-temurun dari zaman dahulu hingga saat ini.
"Kalau ada laki-laki yang nikah di sini pasti tidak akan bertahan lama," katanya.
Untuk kebutuhan hidup sehari-hari, kebanyakan wanita-wanita tersebut menggantungkan hidupnya dari hasil ladang yang ada disekitar rumahnya yaitu berupa jagung dan ketela.
Alasan mereka tetap bertahan hidup, lanjut dia, salah satunya karena keberadaan mata air yang ada di kampung tersebut yang hingga kini dipercaya sebagai air kramat atau air kehidupan.
"Air tersebut juga dipercaya bisa menyembuhkan segala penyakit," katanya.
Namun sayangnya, keberadaan `kampung wadon tersebut tidak lama lagi akan musnah. Pasalnya, hingga kini jumlah penduduknya terus berkurang, sementara angka kelahiran nyaris tidak ada.
"Apalagi saat ini mereka banyak yang sudah berusia lanjut," tandasnya.
Kampung wadon, diketahui kalangan masyarakat yang ada di sekitar hutan jati adalah perkampungan unik. Pasalnya hampir seluruh penduduknya berjenis kelamin wanita.
Hal itu dikarenakan banyak penduduk laki-laki kebanyakan memilih hengkang dari kampung wadon, sebab mereka meyakini, jika masih tetap tinggal di kampung tersebut hidupnya akan sial atau sengsara.
Meski tidak banyak penduduk laki-laki yang tinggal di desa tersebut, para wanita yang tinggal di kampung itu tetap hidup aman, tentram, dan damai.
Salah seorang warga yang tinggal di kampung wadon, Kasinem, 86 tahun, Senin, di Ngawi, mengatakan, hingga saat ini dirinya beserta bersama dengan dua anaknya, Gani, 50 tahun, dan Sukiyem, 35 tahun yang kini kondisinya sudah lumpuh, masih bertahan hidup dengan tradisi tersebut.
"Pesan dari leluhur kami, saya harus menjaga tradisi yang ada di kampung ini," katanya saat ditemui di kediamanya.
Menurut Kasinem, dia termasuk yang menjadi panutan banyak orang karena paling tua di kampungwadon diantara tetanga lainya yang kebanyakan usianya rata-rata 50 tahun.
Namun yang menjadi keunikan tersendiri hingga saat ini, kata dia, jika ada orang yang berkunjung ke kampung wadon pasti tidak akan menemukan laki-laki. Pasalnya kebanyakan laki-laki sudah pergi dan menetap di desa lain.
"Warga mempunyai kepercayaan, jika ada orang laki-laki setelah menikah tidak segera pergi, maka ia akan sengsara sepanjang hidupnya," kata Gani anak dari Kasinem yang juga merupakan penghuni kampung wadon.
Mitos inilah yang menjadikan warga khususnya yang berjenis laki-laki akhirnya memilih segera pergi dari kampung tersebut, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Gani sendiri mengaku kebanyakan laki-laki setelah menikah dengan wanita di kampung tersebut, langsung meninggalkan desa tersebut.
"Mereka semua takut, jika tetap bertahan akan terkena musibah," ujarnya.
Keberadaan kampung yang dihuni kaum hawa ini, sebenarnya sudah lama diketahui warga dari luar desa. Namun karena lokasinya berada di tengah hutan, tidak banyak orang yang mengunjunginya.
Sementara itu, petugas penjaga hutan setempat, Langgeng, 53 tahun, mengatakan bahwa warga desa yang ada di sekitar hutan sudah banyak yang mengetahui keberadaan kampung unik ini.
"Mereka juga paham betul, kepercayaan warga di kampung itu yang anti-dengan keberadaan laki-laki," katanya.
Menurut dia, mitos yang berkembang di desa tersebut hingga kini masih dipercaya secara turun-temurun dari zaman dahulu hingga saat ini.
"Kalau ada laki-laki yang nikah di sini pasti tidak akan bertahan lama," katanya.
Untuk kebutuhan hidup sehari-hari, kebanyakan wanita-wanita tersebut menggantungkan hidupnya dari hasil ladang yang ada disekitar rumahnya yaitu berupa jagung dan ketela.
Alasan mereka tetap bertahan hidup, lanjut dia, salah satunya karena keberadaan mata air yang ada di kampung tersebut yang hingga kini dipercaya sebagai air kramat atau air kehidupan.
"Air tersebut juga dipercaya bisa menyembuhkan segala penyakit," katanya.
Namun sayangnya, keberadaan `kampung wadon tersebut tidak lama lagi akan musnah. Pasalnya, hingga kini jumlah penduduknya terus berkurang, sementara angka kelahiran nyaris tidak ada.
"Apalagi saat ini mereka banyak yang sudah berusia lanjut," tandasnya.
Post a Comment