GuidePedia

0
Sebagaimana namanya, surau terletak di Desa Lubuk Bauk, Kecamatan Batipuh, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Lokasinya yang berada di pinggir Jalan Raya Batusangkar-Padang memudahkan bagi siapa saja yang ingin melihat atau beribadah di dalamnya.

Surau didirikan di atas tanah wakaf Datuk Bandaro Panjang yang berasal dari suku Jambak, Jurai Nan Ampek Suku. Dibangun selama lima tahun (1896-1901) oleh masyarakat Nagari Batipuh Baruh dibawah koordinasi para ninik mamak. Bangunan surau memiliki corak Koto Piliang yang dapat dilihat dari susunan atap dan adanya menara.
Pemugaran masjid pernah dilakukan pada tahun 1984 melalui studi kelayakan oleh Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumatera Barat.

Studi kelayakan ini berlanjut pemugaran oleh Pemerintah Daerah Setempat pada tahun anggaran 1992/1993. Sampai sekarang surau masih digunakan sebagai tempat belajar agama juga sebagai salah satu obyek wisata budaya.
Pintu gerbang surau berada di sebalah timur, menghadap ke jalan raya yang berada di selatan. Surau berbentuk panggung (memiliki kolong) dan dikelilingi pagar besi.

Tinggi kolong surau menacapai 1,4 meter. Surau terbuat dari kayu dengan denah persegi dan tinggi bangunan sampai kemuncak sekitar 13 meter.

Bangunannya terdiri dari tiga lantai dengan atap bersusun tiga. Satu lantai berfungsi sebagai kubah atau menara yang terletak di atas atap gonjong berbentuk segi delapan.

Pintu surau berada di sebelah timur dengan melalui enam buah anak tangga. Terdapat ukiran kaligrafi di ambang pintu dan di bagian belakangnya ditutup dengan papan. Di depan pintu tersedia tempat wudhu.


Lantai pertama surau merupakan ruang utama sebagai tempat beribadah dan juga tempat belajar agama. Dinding dan lantai surau terbuat dari papan.
Pada sisi utara, selatan, dan timur terdapat jendela yang dibagian luarnya memiliki ukiran berpola tanaman sulur-suluran.

Ukiran tersebut berada di bagian atas lengkungan-lengkungan yang menutupi kolong bangunan. Ruang utama ditopang 30 tiang kayu yang bertumpu di atas umpak batu sungai. Tiang-tiang tersebut berbentuk segi delapan, dimana tiang bagian tengah memiliki ukiran di bagian atas dan bawahnya.

Menurut keterangan masyarakat setempat, jumlah tersebut sesuai dengan jumlah tiang rumah gadang menurut adat Minangkabau. Seperti masjid pada umumnya, di sisi barat surau terdapat mihrab. Akan tetapi tidak terdapat mimbar.
Sebagaimana lantai pertama, lantai kedua juga memiliki ukiran-ukiran berpola sama dengan tiang di lantai pertama. Untuk memasuki lantai kedua dapat melalui tangga kayu. Adapun di lantai ketiga, di tengah ruangan terdapat satu tiang dengan tangga melingkar untuk naik ke menara.

Bagian luar lantai tiga ini membentuk empat serambi dengan atap yang berbentuk gonjong sebagai ciri khas bangunan Minang. Empat serambi atap ini menghadap ke arah empat mata angin.

Dinding serambi luar penuh dengan ukiran berwarna dan mengambil pola tumbuhan pakis. Pada salah satu bidang hias di setiap serambi, terdapat dua ukiran bundar yang bagian tengahnya disamaroleh tumbuh-tumbuhan seperti pada motif uang Belanda dan mahkota kerajaan.
Surau memiliki atap bersusun tiga yang terbuat dari seng. Atap pertama dan kedua berbentuk limasan, sedangkan atap ketiga yang juga berfungsi sebagai menara memiliki bentuk gonjong di keempat sisinya.

Menara surau berdenah segi delapan dengan dinding kayu dan jendela-jendela semu berkaca di setiap sisinya. Atap bagian puncak menara membentuk kerucut dengan bentuk susunan buah labu atau bola-bola.

Menurut keterangan masyarakat setempat, empat serambi melambangkan “Jurai Nan Ampek Suku”, agama, dan lambang dari empat tokoh pemerintah (Basa Empat Balai) kerajaan Pagarruyung. Sedangkan ukiran pakis seperti pola hias pada bangunan rumah seorang tokoh masyarakat atau pemerintahan, melambangkan kebijaksanaan persatuan, dan kesatuan dalam negeri.
Sumber : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1999). Masjid Kuno Indonesia. Jakarta: Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat.

Post a Comment

 
Top