Sejarah pembangunan masjid tidak diketahui secara pasti, tetapi berkaitan dengan Syekh Burhanuddin yang berhasil mengislamkan daerah Lima Kaum.
Pada waktu itu, Lima Kaum merupakan kerajaan kecil dari wilayah kerajaan Minangkabau. Berdasarkan cerita sejarah, masjid pertama yang dibangun di perkampungan kecil daerah Lima Kaum pada tahun 1650 berbentuk sangat sederhana, hanya beralaskan susunan batu tanpa dinding dan atap.
Kemudian setelah 25 tahun dilakukan penyempurnaan bangunan sebagaimana layaknya bentuk sebuah masjid.
Ketika
pemeluk agama islam semakin berkembang, maka pada tahun 1710 dilakukan
pembangunan masjid ketiga kalinya yang dikerjakan secara bergotong
royong dan melibatkan semua lapisan masyarakat. Termasuk melibatkan
beberapa nagari (daerah) sekitar Lima Kaum.
Bahkan Datuk Bandaro Kuniang sebagai raja Nagari Lima Kaum menetapkan hukuman bagi yang tidak turut serta dalam gotong royong pembangunan masjid. Pembangunan ketiga inilah yang sekarang disebut dengan Masjid Raya Lima Kaum.
Bahkan Datuk Bandaro Kuniang sebagai raja Nagari Lima Kaum menetapkan hukuman bagi yang tidak turut serta dalam gotong royong pembangunan masjid. Pembangunan ketiga inilah yang sekarang disebut dengan Masjid Raya Lima Kaum.
Masjid Raya Lima Kaum berdiri di tempat yang dahulunya berdiri sebuah pagoda semacam candi. Keberadaan pagoda tersebut mempengaruhi arsitektur masjid yang mencerminkan sinkretisme
atau pencampuran paham antara Buddha dan Islam dalam pembangunannya.
Bangunan masjid bertingkat lima dengan tinggi mencapai 55 meter, seperti pagoda yang menjulang tinggi tetapi sudah dimodifikasi sebagai perlambang rukun islam. Pada tahun 1984 pernah dilakukan studi kelayakan dalam rangka kegiatan pemugaran.
Kemudian pada tahun 1985 dilakukan kegiatan penelitan dengan tujuan inventarisasi penyebaran benda cagar budaya masa islam dan studi proses islamisasi di Sumatera Barat.
Adapun kegiatan pemugaran yang sudah dilakukan beberapa kali secara swadaya oleh masyarakat setempat, seperti penggantian atap yang semula ijuk menjadi seng (1908), pembuatan loteng untuk menghindari gangguan kelelawar (1937), pembuatan serambi (1940), penggantian bilah papan yang sudah rapuh (1941), perbaikan dan pelebaran mihrab (1969), dan perbaikan jendela serta pemasangan kaca nako (1977).
Bangunan masjid bertingkat lima dengan tinggi mencapai 55 meter, seperti pagoda yang menjulang tinggi tetapi sudah dimodifikasi sebagai perlambang rukun islam. Pada tahun 1984 pernah dilakukan studi kelayakan dalam rangka kegiatan pemugaran.
Kemudian pada tahun 1985 dilakukan kegiatan penelitan dengan tujuan inventarisasi penyebaran benda cagar budaya masa islam dan studi proses islamisasi di Sumatera Barat.
Adapun kegiatan pemugaran yang sudah dilakukan beberapa kali secara swadaya oleh masyarakat setempat, seperti penggantian atap yang semula ijuk menjadi seng (1908), pembuatan loteng untuk menghindari gangguan kelelawar (1937), pembuatan serambi (1940), penggantian bilah papan yang sudah rapuh (1941), perbaikan dan pelebaran mihrab (1969), dan perbaikan jendela serta pemasangan kaca nako (1977).
Bangunan
masjid memiliki kolong dengan bagian atap berbentuk kerucut (pagoda)
dan pucaknya berbentuk segi delapan berjendela kaca.
Denah masjid berupa segi empat, dimana pondasi bangunan berupa beton, dinding dan lantai berbahan papan, tiang terbuat dari kayu ulin, jendela dari kaca nako di semua sisi bangunan, dan pagar besi di sekeliling bangunan yang pondasinya terbuat dari batu kali.
Di sebelah utara dan selatan bangunan terdapat pintu gerbang dari beton cor, beratap gonjong lima, dan berhiaskan kaligrafi pada tiangnya. Pada gapura masjid yang berada di selatan terdapat angka tahun pembuatan, yakni 6 Mei 1974, wakaf dari keluarga Dr. Kahondo Mrajo. Bangunan induk masjid terdiri dari ruang utama dan serambi.
Denah masjid berupa segi empat, dimana pondasi bangunan berupa beton, dinding dan lantai berbahan papan, tiang terbuat dari kayu ulin, jendela dari kaca nako di semua sisi bangunan, dan pagar besi di sekeliling bangunan yang pondasinya terbuat dari batu kali.
Di sebelah utara dan selatan bangunan terdapat pintu gerbang dari beton cor, beratap gonjong lima, dan berhiaskan kaligrafi pada tiangnya. Pada gapura masjid yang berada di selatan terdapat angka tahun pembuatan, yakni 6 Mei 1974, wakaf dari keluarga Dr. Kahondo Mrajo. Bangunan induk masjid terdiri dari ruang utama dan serambi.
Serambi
masjid berada di bagian depan (timur) dengan pondasi beton. Serambi
merupakan ruangan tertutup berdinding kaca nako. Atap serambi berbentuk
semi limas terbuat dari seng. Serambi memiliki fungsi sebagai tempat
belajar al-Qur’an dan tempat penitipan alas kaki. Pintu masuk serambi
terdapat di sisi utara dan selatan.
Di atasnya terdapat menara atau kubah berbentuk segi delapan dengan jendela kaca berdaun dua di setiap sisinya. Atap menara berbentuk kubah, dimana kemuncaknyaberbentuk susunan buah labu, dan paling atas berbentuk kerucut atau runcing.
Di atasnya terdapat menara atau kubah berbentuk segi delapan dengan jendela kaca berdaun dua di setiap sisinya. Atap menara berbentuk kubah, dimana kemuncaknyaberbentuk susunan buah labu, dan paling atas berbentuk kerucut atau runcing.
Ruang
utama dapat ditemui dengan melalui pintu berelung dua di serambi yang
berhiaskan kaligrafi dan sulur. Pintu terbuat dari kerangka besi yang
dapat dilipat menyamping ke kiri dan kanan. Ruang utama memiliki jendela
nako di semua sisinya, diantaranya enam buah jendela masing-masing di
sisi utara dan selatan, dan empat buah jendela masing-masing di sisi
barat dan timur.
Di dalam ruang utama berdiri 66 buah tiang dan sebuah tonggak macu di tengah-tengah. Tonggak macu ditutup dengan papan tripleks berbentuk segi delapan, berfungsi sebagai penutup tangga naik ke kubah atau menara yang melingkar pada tonggak macu. Plafon ruang utama juga terbuat dair papan kayu.
Di dalam ruang utama berdiri 66 buah tiang dan sebuah tonggak macu di tengah-tengah. Tonggak macu ditutup dengan papan tripleks berbentuk segi delapan, berfungsi sebagai penutup tangga naik ke kubah atau menara yang melingkar pada tonggak macu. Plafon ruang utama juga terbuat dair papan kayu.
Di sebelah tenggara ruang utama terdapat bedug yang terbuat dari pohon
kelapa dengan panjang hampir 2,2 meter.
Di sebelah barat ruang utama terdapat mihrab yang menjorok keluar dan berlantai keramik. Akan tetapi di dalam ruang utama tidak terdapat mimbar sebagaimana masjid pada umumnya. Hanya terdapat sebuah meja dan kursi biasa.
Di belakang bangunan masjid, yakni sebelah barat, terdapat tiga buah makam. Diantaranya adalah makam Al-Haji ‘Asan bin Basit Datuk Basyar (1324 H), Haji Husain bin Ismail (1331 H), dan satu makam lagi dengan angka tahun 1321 H, namun huruf arab melayunya tidak terbaca lengkap.
Di sebelah barat ruang utama terdapat mihrab yang menjorok keluar dan berlantai keramik. Akan tetapi di dalam ruang utama tidak terdapat mimbar sebagaimana masjid pada umumnya. Hanya terdapat sebuah meja dan kursi biasa.
Di belakang bangunan masjid, yakni sebelah barat, terdapat tiga buah makam. Diantaranya adalah makam Al-Haji ‘Asan bin Basit Datuk Basyar (1324 H), Haji Husain bin Ismail (1331 H), dan satu makam lagi dengan angka tahun 1321 H, namun huruf arab melayunya tidak terbaca lengkap.
Sumber : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1999). Masjid Kuno Indonesia. Jakarta: Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat
Post a Comment